PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DAN OTONOMI DAERAH
Otonomi
daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Terdapat
dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1.
Nilai Unitaris,
yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan
pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"),
yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik
Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan;
2.
Nilai dasar Desentralisasi
Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945
beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa
Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan
dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan
dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan
penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan
kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada
Daerah Tingkat II (Dati II)dengan beberapa dasar pertimbangan:
1.
Dimensi Politik,
Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan
separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2.
Dimensi Administratif,
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat
lebih efektif;
3.
Dati II adalah daerah "ujung tombak"
pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan
potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah,
prinsip otonomi yang dianut adalah:
1.
Nyata,
otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di
daerah;
2.
Bertanggung jawab,
pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di
seluruh pelosok tanah air; dan
3.
Dinamis,
pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan
maju
- ATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Beberapa
aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Di Daerah
2.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah
3.
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
5.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6.
Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
-
Pelaksanaan Otonomi
Daerah pada Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil
membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas
politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia.
Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan
dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai
secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi
dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan
di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif
program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi
kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang
No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi
Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom,
selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga
meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga
prinsip:
- Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah
atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
- Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala
Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada
Pejabat-pejabat di daerah; dan
- Tugas Pembantuan
(medebewind), tugas untuk
turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada
Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah
Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk
Dati I (Provinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan
sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan
disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan
Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5
(lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan
pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau
jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29
dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak
anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan;
mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan
penyelidikan), dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta
mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara
konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja
daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam
batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan
peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan
d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan
berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa
meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik,
namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari
pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan
Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun
1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah
pusat.
-
Pelaksanaan
Otonomi Daerah Setelah Masa Orde Baru
Upaya
serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai
di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses
pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis).
Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus
menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan
pada beberapa pilihan yaitu:
1.
melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah
daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi
kepada daerah;
2.
pembentukan negara federal; atau
3.
membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni
pemerintah pusat.
Pada
masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang
baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan
memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat
berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1.
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan
otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada
hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting
kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui
prakarsanya sendiri.
2.
Prinsip yang menekankan asas desentralisasi
dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini
diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena
kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan
prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
3.
Beberapa hal yang sangat mendasar dalam
penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah
pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka
secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat
Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan
secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah
yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam
Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4.
Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana
semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam,
peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu
diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
5.
Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk
membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.
Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti
menjadi daerah provinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus
wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan
fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6.
Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas
desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi
sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi
perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat
diselenggarakan di daerah provinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai
penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah
masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7.
Wilayah Provinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12
mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah
Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut
provinsi.
8.
Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan
perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD
mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah
dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah
administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9.
Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan
persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu
disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10. Daerah
dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain
yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak
mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan
daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang
ditetapkan dengan undang-undang.
11. Setiap
daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama
pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12. Daerah
diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,
penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan
pemerintah.
13. Kepada
Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada provinsi otonomi
yang terbatas. Kewenangan yang ada pada provinsi adalah otonomi yang bersifat
lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan
efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota.
Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan
perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala
provinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan
Kota.
14. Pengelolaan
kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk
badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten
sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga.
Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang
terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah,
Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah.
Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah.
Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor
Wilayah dan Kandep dihapus.
15. Kepala
Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala
Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua)
kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
- Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah
-
Perubahan Penerimaan Daerah
Secara sederhana, perubahan APBD dapat diartikan
sebagai upaya pemerintah daerah untuk menyesuaikan rencana keuangannya dengan
perkembangan yang terjadi. Perkembangan dimaksud bisa berimplikasi pada
meningkatnya anggaran penerimaan maupun pengeluaran, atau sebaliknya. Namun,
bisa juga untuk mengakomodasi pergeseran-pergeseran dalam satu SKPD.
Perubahan atas setiap komponen APBD memiliki latar
belakang dan alasan berbeda. Ada perbedaan alasan untuk perubahan anggaran
pendapatan dan perubahan anggaran belanja. Begitu juga untuk alasan perubahan
atas anggaran pembiayaan, kecuali untuk penerimaan pembiayaan berupa SiLPA
(Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu), yang memang menjadi salah satu
alasan utama merngapa perubahan APBD dilakukan.
-
Perubahan atas pendapatan
Terutama PAD bisa saja berlatar belakang perilaku
oportunisme para pembuat keputusan, khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD. Namun,
tak jarang perubahan APBD juga memuat preferensi politik para politisi di
parlemen daerah (DPRD). Anggaran pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran
yang sedang berjalan karena beberapa sebab, diantaranya karena (a) tidak
terprediksinya sumber penerimaan baru pada saat penyusunan anggaran, (b)
perubahan kebijakan tentang pajak dan retribusi daerah, dan (c) penyesuaian
target berdasarkan perkembangan terkini.
Ada
beberapa kondisi yang menyebabkan mengapa perubahan atas anggaran pendapatan
terjadi, di antaranya:
- Target pendapatan
dalam APBD underestimated (dianggarkan terlalu rendah).
Jika sebuah angkat untuk target pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD,
maka angka itu menjadi target minimal yang harus dicapai oleh eksekutif.
Target dimaksud merupakan jumlah terendah yang “diperintahkan” oleh DPRD
kepada eksekutif untuk dicari dan menambah penerimaan dalam kas daerah.
- Alasan penentuan
target PAD oleh SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral
hazard yang dilakukan agency yang dalam konteks
pendapatan adalah sebagai budget minimizer. Dalam
penyusunan rancangan anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD
mempunyai ruang untuk membuat budget slack karena
memiliki keunggulan informasi tentang potensi pendapatan yang sesungguhnya
dibanding DPRD.
- Jika dalam
APBD “murni” target PAD underestimated, maka dapat
“dinaikkan” dalam APBD Perubahan untuk kemudian digunakan sebagai dasar
mengalokasikan pengeluaran yang baru untuk belanja kegiatan dalam APBD-P.
Penambahan target PAD ini dapat diartikan sebagai hasil evaluasi atas
“keberhasilan” belanja modal dalam mengungkit (leveraging) PAD,
khususnya yang terealiasai dan tercapai outcome-nya pada
tahun anggaran sebelumnya.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi
daerah, PAD seharusnya merupakan sumber utama keuangan daerah dalam membiayai
kegiatan pemerintahan dan pembangunan, sedangkan kekurangan pendanaan ditunjang
dari dana perimbangan. Namun dalam kenyataannya, dana perimbangan merupakan
sumber dana utama pemerintah daerah.
Untuk
mengetahui tujuan dari peranan pendapatan ini adalah :
- Untuk mengetahui
peranan PAD sebagai sumber penerimaan dalam pembiayaan APBD .
- Untuk mengetahui
peranan DAU sebagai sumber penerimaan dalam pembiayaan APBD.
- Untuk mengetahui
apa saja usaha pemerintah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
- Untuk mengetahui
apa saja kendala yang dihadapi pemerintah untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
- Untuk mengetahui
apa saja usaha pemerintah dalam hal mengatasi kendala dalam peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
-
Pendapatan Asli Daerah
Pengertian pendapatan asli daerah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pusat dan Daerah Pasal 1 angka 18 bahwa “Pendapatan
asli daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah
yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Menurut Warsito (2001:128) Pendapatan Asli
Daerah “Pendapatan asli daerah (PAD) adalah pendapatan yang bersumber dan
dipungut sendiri oleh pemerintah daerah. Sumber PAD terdiri dari: pajak daerah,
restribusi daerah, laba dari badan usaha milik daerah (BUMD), dan pendapatan
asli daerah lainnya yang sah”.
Sedangkan menurut Herlina Rahman(2005:38)
Pendapatan asli daerah Merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil
pajak daerah ,hasil distribusi hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dalam menggali
pendanaan dalam pelaksanaan otoda sebagai perwujudan asas desentralisasi.
Kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai sumber utama pendapatan daerah yang
dapat dipergunakan oleh daerah dalam rnelaksanakan pemerintahan dan pembangunan
daerah sesuai dengan kebutuhannya guna memperkecil ketergantungan dalam
mendapatkan dana dan pemerintah tingkat atas (subsidi). Dengan demikian usaha
peningkatan pendapatan asli daerah seharusnya dilihat dari perspektif yang
Iebih luas tidak hanya ditinjau dan segi daerah masing-masing tetapi daham
kaitannya dengan kesatuan perekonomian Indonesia. Pendapatan asli daerah itu
sendiri, dianggap sebagai alternatif untuk memperoleh tambahan dana yang dapat
digunakan untuk berbagai keperluan pengeluaran yang ditentukan oleh daerah
sendiri khususnya keperluan rutin. Oleh karena itu peningkatan pendapatan
tersebut merupakan hal yang dikehendaki setiap daerah. (Mamesa, 1995:30)
Sebagaimana telah diuraikan terlebih dahulu
bahwa pendapatan daerah dalam hal ini pendapatan asli daerah adalah salah satu
sumber dana pembiayaan pembangunan daerah pada Kenyataannya belum cukup
memberikan sumbangan bagi pertumbuhan daerah, hal ini mengharuskan pemerintah
daerah menggali dan meningkatkan pendapatan daerah terutama sumber pendapatan
asli daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan
pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi
Daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan
kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai
mewujudan asas desentralisasi. (Penjelasan UU No.33 Tahun 2004)
-
Sumber-sumber pendapatan asli daerah
Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa
pendapatan daerah tidak dapat dipisahkan dengan belanja daerah, karena adanya
saling terkait dan merupakan satu alokasi anggaran yang disusun dan dibuat
untuk melancarkan roda pemerintahan daerah. (Rozali Abdullah, 2002)
Sebagaimana halnya dengan negara, maka daerah
dimana masing-rnasing pemerintah daerah mempunyai fungsi dan tanggung jawab
untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan rakyat dengan jalan melaksanakan
pembangunan disegala bidang sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa “Pemerintah daerah berhak dan
berwenang menjalankan otonomi, seluas-Iuasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”.
(Pasal 10)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah
Daerah mengisyaratkan bahwa Pemerintah Daerah dalam mengurus rumah
tangganya sendiri diberikan sumber-sumber pedapatan atau penerimaan keuangan
Daerah untuk membiayai seluruh aktivitas dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas
pemerintah dan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat secara adil dan
makmur.
Adapun sumber-sumber pendapatan asli daerah
(PAD) sebagaimana datur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 157,
yaitu:
1)
Hasil pajak daerah;
Dengan
demikian ciri-ciri yang menyertai pajak daerah dapat diikhtisarkan seperti
berikut:
a) Pajak daerah berasal dan
pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah;
b) Penyerahan dilakukan berdasarkan
undang-undang;
c) Pajak daerah dipungut oleh
daerah berdasarkan kekuatan undang-undang dan/atau peraturan hukum Lainnya;
d) Hasil pungutan pajak daerah
dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan-urusan rumah tangga daerah
atau untuk membiayai perigeluaran daerah sebagai badan hukum publik;
2)
Hasil retribusi daerah;
Sumber pendapatan daerah yang penting lainnya
adalah retribusi daerah. Panitia Nasrun merumuskan retribusi daerah (Josef Kaho
Riwu, 2005:171) adalah pungutan daerah sebagal pembayaran pemakalan atau karena
memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau mhlik daerah untuk kepentingan umum, atau
karena jasa yang diberikan oleh daerah balk Iangsung maupun tidak Iangsung”.
Dari pendapat tersebut di atas dapat
diikhtisarkan ciri-ciri pokok retribusi daerah, yakni:
a) Retribusi dipungut oleh
daerah;
b) Dalam pungutan retribusi terdapat
prestasi yang diberikan daerah yang Iangsung dapat ditunjuk;
c) Retribusi dikenakan kepada
siapa saja yang memanfaatkan, atau mengenyam jasa yang disediakan daerah;
3)
Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
Kekayaan daerah yang dipisahkan berarti kekayaan
daerah yang dilepaskan dan penguasaan umum yang dipertanggung jawabkan melalui
anggaran belanja daerah dan dimaksudkan untuk dikuasai dan
dipertanggungjawabkan sendiri.
Dalam hal ini hasil laba perusahaan daerah
merupakan salah satu daripada pendapatan daerah yang modalnya untuk seluruhnya
atau untuk sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan. Maka sewajarnya
daerah dapat pula mendirikan perusahaan yang khusus dimaksudkan untuk menambah
penghasilan daerah disamping tujuan utama untuk mempertinggi produksi, yang
kesemua kegiatan usahanya dititkberatkan kearah pembangunan daerah khususnya
dan pembangunan ekonomi nasional umumnya serta ketentraman dan kesenangan kerja
dalam perusahaan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, dalam
batas-batas tertentu pengelolaan perusahaan haruslah bersifat professional dan
harus tetap berpegang pada prinsip ekonomi secara umum, yakni efisiensi.
(Penjelasan atas UU No.5 Tahun 1962)
4)
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a) Hasil penjualan kekayaan
daerah yang tidak dipisahkan;
b) Jasa giro;
c) Pendapatan bunga;
d) Keuntungan seIisih nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing; dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain
sebagai akibat dan penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau
jasa oleh daerah
Sedangkan menurut Feni Rosalia (dalam Bintoro
Tjokroamidjojo 1984: 160) sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah antara lain:
a) Dari pendapatan melalui
pajak yang sepenuhnya diserahkan kepada daerah atau yang bukan menjadi
kewenangan pemajakan pemerintah pusat dan masih ada potensinya di daerah;
b) Penerimaan dari jasa-jasa
pelayanan daerah, misalnya retribusi, tarif perizinan tertentu, dan lain-lain;
c) Pendapatan-pendapatan
daerah yang diperoleh dari keuntungan-keuntungan perusahaan daerah, yaitu
perusahaan yang mendapat modal sebagian atau seluruh dari kekayaan daerah;
d) Penerimaan daerah dari
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dengan ini dimaksudkan
sebagai bagian penerimaan pusat dan kemudian diserahkan kepada daerah;
e) Pendapatan daerah karena
pemberian subsidi secara langsung atau yang penggunaannya ditentukan daerah
tersebut;
f) Seiring terdapat pemberian
bantuan dari pemerintah pusat yang bersifat khusus karena keadaan tertentu. Di
Indonesia hal ini disebut ganjaran;
g) Penerimaan-penerimaan daerah yang
didapatdari pinjaman-pinjaman yang dilakukan pemerintah daerah
- Pembangunan Ekonomi Regional
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses
dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta
untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan
kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Masalah pokok
dalam pembangunan ekonomi daerah terletak pada penekanan kebijakan-kebijakan
pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan, dengan
menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan dan sumber daya fisik
secara lokal.
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu
proses yaitu proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru,
pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang
ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi
pasar-pasar baru, ilmu pengetahuan dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru.
Tujuan utama ekonomi daerah/regional adalah
untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah.
- Faktor-faktor Penyebab ketimpangan
Berikut beberapa faktor utama penyebab
terjadinya ketimpangn pembangunan ekonomi dalam satu wilayah Negara :
1.
Konsentrasi Kegiatan ekonomi, Konsentrasi kegiatan
ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi daerah
dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat. Sedangkan
daerah dengan tingkat ekonomi yang rendah cenderung mempunyai tingkat
pembanguan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
2.
Alokasi Investasi, Indikator lain juga
yang menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi (I) langsung, baik
yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN).
Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar, bahwa
kurangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan
masyarakat per kapita di wilayah tersebut menjadi rendah, karena tidak adanya
kegiatan ekonomi yang produktif, seperti industri manufaktur.
3.
Mobilitas antar Faktor Produksi yang Rendah antar
Daerah ,
Kehadiran buruh migran kelas bawah adalah pertanda semakin majunya suatu
negara. Ini berlaku baik bagi migran legal dan ilegal. Ketika sebuah negara
semakin sejahtera, lapisan-lapisan masyarakatnya naik ke posisi ekonomi lebih
tinggi (teori Marxist: naik kelas). Fenomena “move up the ladder” ini
dengan sendirinya membawa kepada konsekuensi kosongnya lapisan terbawah.
Walaupun demikian lapisan ini tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebenarnya
lapisan ini sangat substansial, karena menopang “ladders” atau lapisan-lapisan
yang berada di atasnya.
4.
Perbedaan SDA antar Provinsi , Dasar pemikiran
klasik mengatakan bahwa pembanguan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih
maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin SDA.
Sebenarnya sampai dengan tingkat tertentu pendapat ini masih dapat dikatakan,
dengan catatan SDA dianggap sebagai modal awal untuk pembangunan. Dalam proses
pemulihan ekonomi nasional, pelaksanaan program desentralisasi yang
tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai sebaliknya malah akan mengganggu pemulihan
ekonomi yang pada gilirannya akan merugikan pembangunan ekonomi daerah sendiri.
5.
Perbedaan Kondisi Demografis antar Provinsi, Kondisi demografis
antar provinsi berbeda satu dengan lainnya, ada yang disominasi oleh sektor
pertanian, ada yang didominiasi oleh sektor pariwisata, dan lain sebagainya.
Perbedaan kondisi demografis ini biasanya menyebabkan pembangunan ekonomi tiap
daerah berbeda-beda.
6.
Kurang Lancarnya Perdagangan antar Provinsi , Kurang
lancarnya perdagangan antar daerah juga menyebabkan ketimpangan ekonomi
regional di Indonesia. Pada umumnya ketidaklancaran tersebut disebabkan karena
keterbatasan transportasi dan komunikasi.
- Pembangunan Indonesia Bagian Timur
Kawasan Timur Indonesia (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi) dikenal
sebagai kawasan yang kaya akan sumber daya alam namun menghadapi tantangan
pembangunan yang berat dalam perbaikan iklim investasi, peningkatan kualitas
pelayanan dan penguatan pemerintahan. Keterisolasian secara geografis dan
terbatasnya akses pengetahuan yang berkualitas menjadi tantangan tersendiri
bagi pemerintah dan individu yang berpikiran maju untuk saling belajar dan
bekerjasama akibatnya sulit tercipta kerjasama efektif antar para individu dan
antar wilayah dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan.
Pembangunan infrastruktur di Indonesia mengalami pasang surut terutama
saat Indonesia dilanda krisis ekonomi. Pembangunan infrastruktur lebih difokuskan pada
usaha perbaikan dan pemeliharaan saja. Dengan demikian dewasa ini, pembangunan
infrastruktur kawasan timur Indonesia belum menjadi focus utama pembangunan.
Pada saat ini sudah hampir menjadi kesimpulan umum bahwa infrastruktur
adalah fundamental perekonomian Indonesia. Bahwa daerah atau kawasan Indonesia
Timur merupakan wilayah strategis guna membangkitkan potensi nasional. Oleh
karena itu hari ini adalah saat yang tepat guna meletakkan kemauan bersama
menyusun konsep pembangunan infrstruktur kawasan Timur Indonesia yang bersumber
pada kesadaran penguasaan teknologi dan keunggulan sumberdaya daerah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa daerah Kalimantan
Selatan sebagaimana daerah Kalimantan umumnya yang merupakan salah satu pulau
terbesar yang ada di wilayah negara kita. Tingkat kepadatan pendudukanya
relative rendah sehingga tidak dimungkinkan untuk melakukan pendekatan
demographic dalam perencanaan pembangunan infrastukturnya.
Dengan jumlah penduduk yang mendiami wilayah ini
hanya sebesar 6% dari total penduduk Indonesia, maka akan berdampak pada
aktivitas ekonomi yang ada di wilayah ini. Kondisi semacam ini merupakan
kondisi tipikal wilayah Indonesia Timur. Karenanya diperlukan langkah potential
approach atau pendekatan potensial untuk pembangunan infrastrukturnya
Komoditas yang menjadi unggulan untuk wilayah
ini adalah sektor pertambangan dan galian, sub sector perkebunan dan subsektor
kehutanan. Ketiga sektor ini memberikan sumbangan besar bagi pendapatan
nasional.
Dengan demikian terdapat pandangan berbeda
mengenai pola perencanaan bahwa berdasarkan jumlah penduduk atau pendekatan
demografik, aktivitas ekonomi unggulan yang tidak memerlukan banyak
infrastruktur, maka akibatnya adalah persentase pembangunan infrastruktur di
pulau ini lebih rendah dibandingkan pulau Jawa dan Sumatera.
Dilihat dari infrastruktur transportasi,
pelabuhan laut lebih mendominasi dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini
sangat wajar dengan kondisi geografis dari Kalimantan yang lebih banyak rawa
dibandingkan dengan daratannya yang memungkinkan sektor pelabuhan laut dan
lalulitas angkutan sungai, danau, dan penyeberangan lebih berkembang
dibandingkan dengan transportasi darat.
Pembangunan jalan di pulau ini masih relative
rendah bila dibandingkan dengan luas wilayah pulau ini. Hal ini sangat
signifikan sekali dengan jumlah kendaraan yang berada di wilayah ini hanya
sebesar 5,8% dari jumlah kendaraan yang ada di Indonesia. Hal ini pula yang
menyebabkan rendahnya tingkat mobilitas dan tingginya biaya transportasi
sehingga wilayah ini kehilangan daya saingnya dalam menarik investasi.
Pandangan keliru juga terdapat pada subsektor
pertanian tanaman pangan dan pengairan. Dapat kita temukan fakta bahwa irigasi
tidak menjadi salah satu fokus pembangunan infrastruktur karena wilayah ini
bukan sebagai lumbung padi tetapi lebih cenderung pada komoditas kehutanan dan
perkebunan.
Pada pada sisi lain kitapun memehami betul bahwa
kondisi wilayah ini sangat dimungkinkan membangun jaringan irigasi guna
menjadikan Kalimantan sebagai lumbung padi. Kita dapat belajar dan
membandingkan kondisi wilayah ini dengan kondisi Vietnam yang petaninya lebih
unggul dari petani kita bahkan tanpa proteksionisme perdagangan.
Saat ini akses masyarakat Kalimantan terhadap
air bersih, hanya sebesar 44% yang dapat menikmati air bersih sedangkan sisanya
belum mendapatkan akses terhadap air bersih.
Ini merupakan salah satu permasalahan yang harus
menjadi perhatian, karena bila kondisi tersebut dibiarkan maka akan berdampak
pada tingkat kesehatan dari masyarakat di Kalimantan. Bagaimana kita bisa
mengembangkan sumber daya manusia yang handal dan mampu bersaing secara global bila
tingkat hiegenitas masih rendah. Oleh karena itu akses terhadap air bersih
perlu langkah prioritas pembangunan infrastrukturnya.
- Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
Ada sejumlah teori yang dapat menerangkan kenapa
ada perbedaan dalam tingkat pembangunan ekonomi antardaerah diantaranya yang
umum di gunakan adalah teori basis ekonomi,teori lokasi dan teori daya tarik
industri.
1.
Teori pembangunan ekonomi daerah
a. Teori basis ekonomi
Teori basis ekonomi menyatakan bahwa faktor
penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung
dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah.
b. Teori lokasi
Teori lokasi juga sering digunakan untuk
penentuan atau pengembangan kawasan industri di suatu dareah. Inti pemikiran
dari teori ini didasarkan pada sifat rasional pengusaha/perusahaan yang
cenderung mencari keuntungan setinggi mungkin dengan biaya serendah mungkin
oleh karena itu , pengusaha akan memilih lokasi usaha yang memaksimalkan
keuntungannya dan meminimalisasikan biaya usaha atau produksinya, yakni lokasi
yang dekat dengan tempat bahan baku dan pasar.
c. Teori daya tarik industry
Dalam upaya pembangunan ekonomi daerah di
Indonesia sering di pertanyakan. Jenis – jenis industri apa saja yang tepat
untuk dikembangkan (diunggulkan) ? Ini adalah masalah membangun fortofolio
industri suatu daerah.
2.
Model analisis pembangunan daerah
Selain teori-teori di atas, ada beberapa metode
yang umum digunakan untuk menganalisi posisi relative ekonomi suatu daerah;
salah satu di antaranya adalah metode analisis shift-share (SS), location
questitens, angka pengganda pendapatan , analisis input output (i-o) ,dan model
perumbuhan Harold-domar. Berikut adalah sebagian penjelasan dari model analisis
dalam pembagunaan daerah.
a. Analisis SS
Dengan pendekatan analisis ini ,dapat di
analisis kinerja perekonomian suatu daerah dengan membandingkannya dengan
daerah yang lebih besar ( nasional).
b. Location Quotients (LQ)
Yaitu untuk mengukur konsentrasi dari suatu
kegiatan ekonomi atau sector di suatu daerah dengan cara membandingkan
peranannya adalah perekonomian daerah tersebut dengan peranan dari kegiatan
ekonomi atau sektor yang sampai di tingkat yang sama.
c. Angka Pengganda Pendapatan
Metode ini umum digunakan untuk mengukur potensi
kenaikan pendapatan suatu daerah dari suatu kegiatan ekonomi yang baru atau
peningkatan output dari suatu sektor di daerah tersebut.
d. Analisis Input-Output (I-O)
Analisis I-O merupakan salah satu metode
analisis yang sering digunakan untuk mengukur perekonomian suatu daerah dengan
melihat keterkaitan antarsektor dalam usaha memahami kompleksitas perekonomian
daerah tersebut, serta kondisi yang diperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan antara AS dan AD.
DAFTAR PUSTAKA